Pada ketinggian di atas 5.000 meter, lazim muncul penyakit yang disebut Acute Mountain Sickness (AMS). Apa itu?
Ketinggian Adalah Masalah
Himalaya adalah pegunungan yang memiliki dataran yang sangat tinggi dari permukaan laut. Sebagai gambaran, selisih ketinggian antara base camp Everest di Himalaya dan puncak Carstensz di Papua, yang merupakan gunung tertinggi di Indonesia kira-kira 500 meter.
Semakin tinggi suatu daerah, terutama dataran di ketinggian di atas 3.000 meter, udara atau oksigen pun akan lebih tipis, dan tubuh manusia normal akan bertambah sulit menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Meskipun kondisi seseorang masih muda, kuat, dan prima sekalipun, secara alamiah tubuhnya pasti sulit beradaptasi. Karena itu, harus ada tahap penyesuaian diri (aklimatisasi) agar tubuh tak terserang AMS.
Mengatasi AMS
– Jika Anda merencanakan perjalanan di ketinggian dengan hati-hati dan mengikuti prosedur standar dengan sebaik-baiknya, Anda akan terhindar dari AMS.
– Jika anda memiliki waktu yang pendek, maka jangan melakukan perjalanan terlalu tinggi.
– Saat melakukan perjalanan di atas 3.400 meter, jangan melakukan perpindahan tempat untuk bermalam dengan ketinggian lebih dari 450 meter per hari, meskipun Anda tak merasakan perubahan kondisi tubuh apa pun.
Jenis AMS
1. EARLY MOUNTAIN SICKNESS
Tanda-tandanya sebagai berikut:
– Pusing/sakit kepala
– Mual
– Hilang selera makan
– Susah tidur
– Badan membengkak
Penyembuhan :
Tidak jalan menambah ketinggian hingga sembuh.
2. PULMONARY OEDEMA (terganggunya organ paru-paru)
Tanda-tandanya :
– Badan lemah
– Mengantuk
– Detak jantung meningkat
– Batuk kering pada awal, lalu keluar cairan darah
– Bernapas dengan suara keras dan berbusa
– Dada terasa sesak
– Warna bibir dan kuku lebih gelap, biru dan ungu
Penyembuhan :
Saat itu juga harus turun dengan ketinggian serendah-rendahnya.
3. CEREBRAL OEDEMA (terganggunya organ otak)
Tanda-tandanya :
– Kelelahan yang sangat
– Muntah-muntah
– Sakit kepala hebat
– Sulit berjalan
– Meracau, bicara yang aneh-aneh
– Berperilaku tidak normal
– Perasaan selalu mengantuk
– Pingsan
Penyembuhan :
Saat itu juga harus turun pada ketinggian serendah-rendahnya.
Kondisi Darurat
Dalam kasus cerebral dan pulmonary oedema
– Jangan tunda untuk segera turun dalam kondisi apa pun, meskipun malam hari jika perlu.
– Jangan tunggu helikopter penolong datang, segera turun
– Pasien dapat turun dengan berjalan, digendong porter, atau naik yak
– Pasien harus ditemani saat turun
– Obat-obatan bukan sebagai pengganti untuk turun
– Pasien dengan AMS dipastikan tidak bisa mengambil keputusan yang benar, jadi harus dipaksa untuk turun, melawan kemauan pasien.
CATATAN PENTING
– Jangan jalan di ketinggian jika Anda ada penyakit jantung dan paru-paru. Lebih baik cek dahulu ke dokter. (Mohamad Nico Waworuntu)
Sumber : dari sini
HIGH ALTITUDE
Di ketinggian kita akan mengalami penurunan tekanan barometrik (tekanan udara). Oksigen menyumbang sekitar 21 % terhadap tekanan ini, artinya semakin kita naik maka semakin sedikit oksigen yang didapat. Ini penyebab utama masalah seperti hypoxia. Tapi dengan naik
secara perlahan-lahan, tubuh kita bisa menyesuaikan dengan tipisnya udara, istilahnya adalah ‘aklimatisasi’. Perubahan fisiologis dalam respirasi, sirkulasi, darah dan lapisan tubuh meningkatkan pengiriman oksigen dalam tubuh sehingga tubuh lebih mampu mengatasi masalah kurangnya oksigen. Aklimatisasi sendiri tergantung kepada kecepatan mendaki, tingkat stress dan fisiologis individual.
Kemampuan individu beraklimatisasi berbeda-beda, ada yang cepat menyesuaikan diri, ada yg lama, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. Orang yang biasa tinggal di ketinggian cenderung lebih mudah beraklimatisasi, contohnya para sherpa di Himalaya.
RESPIRATORY CHANGES
Saat naik, kecepatan bernafas kita akan bertambah pula. Ini bisa dimulai sejak ketinggian 1500M. Istilahnya adalah Hypoxic Ventilatory Response (HVR). HVR bervariasi dalam tiap orang dan dipengaruhi oleh stimulan (misalnya kafein dan coca), serta depresan (misalnya alkohol dan antihistamin). Kebugaran fisik tampak tidak berpengaruh terhadap HVR. Tingkat HVR yang baik akan meningkatkan aklimatisasi, HVR yang jelek akan memudahkan terkena penyakit ketinggian.
Karena kecepatan nafas bertambah, semakin banyak oksigen yang dihirup. Tapi kita juga akan semakin banyak mengeluarkan karbon dioksida sehingga terjadi perubahan kimiawi dalam tubuh. Dalam waktu 24 sampai 48 jam, ginjal berusaha menyelaraskan dengan perubahan kimiawi tersebut dengan mengeluarkan bikarbonat (artinya kita akan semakin banyak buang air kecil selama aklimatisasi). Proses ini bisa dipercepat kalau memakan obat bernama Acetazolimide/Diamox.
CIRCULATORY CHANGES
Ketinggian akan membuat tubuh stress. Sebagai respon, hormon stress akan dilepaskan ke dalam darah. Akibatnya muncul peningkatan ringan pada tekanan darah dan detak jantung. Semakin lama di ketinggian, detak jantung kembali ke tingkat normal. Tapi detak jantung maksimum tetap akan menurun. Volume plasma darah juga menurun karena banyaknya kita buang air kecil. Penurunan ini bisa mencapai angka 15 % dalam tiga hari pertama aklimatisasi. Jadi sangat penting untuk minum banyak air sehingga tidak terjadi dehidrasi.
Pulmonary vessel juga akan menyempit selama berada di ketinggian. Dampaknya terjadi tekanan pada arteri pulmonary dan menjadi satu faktor timbulnya penyakit pulmonary edema (cairan bocor ke paru-paru).
BLOOD CHANGES
Erythropoietin / EPO mendorong sumsum tulang menghasilkan lebih banyak sel darah merah (yg tugasnya membawa oksigen). Hormon ini dihasilkan oleh ginjal kalau terjadi level oksigen yg rendah. Dalam 4- 5 hari, sel darah merah yg baru itu masuk ke sirkulasi. Setelah beberapa minggu di ketinggian, tubuh terus memproduksi sel darah merah untuk membawa oksigen dari paru2 ke lapisan tubuh yg memerlukan. Darah ini juga mengalami perubahan kimiawi supaya oksigennya tetap menetap di paru2. Ini mendorong saturasi oksigen atau jumlah oksigen yg dibawa tiap sel darah merah semakin meningkat.
TISSUE CHANGES
Untuk meningkatkan pengiriman oksigen, tubuh meningkatkan jumlah saluran darah/kapiler di dalam otot. Ukuran otot ini juga kian mengecil sehingga jarak yg ditempuh oksigen ke otot semakin berkurang.
SLEEP CHANGES
Sudah biasa kalau kita sulit tidur jika berada di ketinggian. Biasanya pernafasan dikontrol oleh tingkat karbon dioksida dalam darah. Kalau tingkatnya naik, otak menyuruh kita bernafas. Kalau tingkat oksigen menurun, otak juga menyuruh kita bernafas. Saat kita bernafas dgn cepat di ketinggian, semakin banyak karbon dioksida yg dihembuskan – otak merasakan tingkat yg rendah – kita berhenti bernafas. Saat oksigen menurun dari tidak adanya nafas itu, otak menyuruh kita kembali bernafas sehingga kita bernafas dan menghembuskan lagi karbon dioksida. Jadilah seperti satu lingkaran yg tak berujung. Fase tak bernafas tadi bisa mencapai 30 detik atau lebih. Istilahnya periodic breathing dan umum terjadi selama aklimatisasi. Ini tentu bisa mengganggu pola tidur yg normal. Mungkin kita pernah tiba2 bangun karena merasa tercekik dan perlu sekali bernafas lagi. Saat aklimatisasi berlanjut, fenomena ini akan berkurang tapi tidak akan menghilang sepenuhnya. Obat Acetazolimide / Diamox bisa menurunkan periodic breathing dan sering dipakai membantu untuk bisa tidur selama aklimatisasi.
DETERIORATION
Ketinggian 5800 M merupakan batas habitasi jangka panjang yang normal. Masalah di sana banyak; turunnya berat badan, rasa cepat ngantuk/lemas, susah tidur. Semakin tinggi, penurunan2 tadi semakin banyak terjadi. Di atas 8000M (alias the Death Zone), penurunan
terjadi secara cepat sampe2 kematian bisa terjadi secara tiba2. Tak heran kalo pendaki Everest kebanyakan memakai suplai oksigen. Masalah turunnya berat badan adalah persoalan yang serius.
Penyebabnya ada dua; turunnya selera makan dan susahnya menyerap nutrisi makanan. Selera makan ini turun sesuai ketinggian, makin tinggi makin turun selera makan kita. Tubuh kita saat itu juga cuma nyerap setengah dari lemak makanan serta tiga perempat karbohidrat
dari kebiasaan normalnya. Kalo naik Everest, nggak jarang pendakinya turun berat badan sampe 10 persen !
HIGH ALTITUDE ILLNESS
Terlalu cepat sampe di ketinggian, tanpa usaha aklimatisasi, bisa nyebabkan sakit yg gawat. Munculnya bisa terjadi hanya dalam beberapa hari saja. Pencegahan ditambah turun secara perlahan2 adalah kunci obatnya. Sekarang ini ada yg nyaranin buat tidak langsung naik dan
tidur melebihi ke ketinggian 3000 M. Gunakan 2 sampai 3 malam di ketinggian 3000 M, terus usahakan bermalam untuk aklimatisasi tiap 600 M sampai 900 M. Hindari naik secara tiba2 melebihi 600 M. Artinya kita bisa naik sampai satu ketinggian, untuk tidurnya kita turun lagi
ke tempat yg sedikit lebih rendah.
Latihan olahraga ringan bisa ngebantu tubuh nyesuaian diri sama ketinggian. Tapi inget, olahraga berlebihan juga bisa nyebabin sakit. Pendaki Everest biasanya ngabisin waktu sampe 2 minggu untuk trekking dari Namche (3400 M) ke base camp Everest (5300 M). Tujuannya tidak lain aklimatisasi.
ACUTE MOUNTAIN SICKNESS
AMS ini tergantung kepada ketinggian, kecepatan mendaki, seberapa lama eksposure, exertion dan kebugaran individual. Gawatnya, AMS ini bisa menyebabkan penyakit ketinggian yg lebih parah lagi. Gejala AMS antara lain sakit kepala, pusing2, lelah, hilang selera makan dan rasa mual. Gejala ini muncul biasanya kalau sudah naik lebih dari ketinggian 1000 M, walau kadang terjadi juga di ketinggian yg lebih rendah.
AMS perlu dideteksi sejak awal. Paling gampang adalah menghentikan pendakian. Tubuh jadi bisa beraklimatisasi walaupun cara ini bisa makan waktu berhari-hari. Kalau gejalanya terus memburuk, nggak ada cara lain selain turun dari gunung. Acetazolimide / Diamox bisa membantu mempercepat aklimatisasi. Dosisnya yg baik adalah 125 mg, 2 kali sehari. Makan obat biasa/ over- the-counter bisa saja, selama kita tidak naik lebih tinggi lagi. Hindari juga konsumsi sedatif misalnya alkohol, antihistamin atau obat tidur.
Pengobatan paling baik adalah turun dari gunung. Turun sampe gejala2 tadi menghilang, biasanya sekitar 500 sampai 1000 M. Perawatan lainnya adalah memakai kantong khusus, namanya portable hyperbaric chamber / GAMOW atau PAC bags. Kantong yg bisa ditiup ini
mengsimulasi langkah turun gunung dengan meningkatkan tekanan udara di dalam kantong.
HIGH ALTITUDE CEREBRAL EDEMA / HACE
HACE ini dasarnya adalah AMS yg lebih ekstrem. Penyebabnya adalah pembengkakan otak. Gejalanya antara lain ataxia (jalannya kayak orang mabuk), dan penurunan kesadaran (mengantuk, rasa bingung, menggigil atau koma). Sering juga penderitanya merasa pusing kepala dan muntah2. Dari AMS ringan sampe terjadi koma bisa berjarak 12 jam atau lebih. Pengobatannya juga memerlukan pendeteksian dini. Kalau terlihat gejala ataxia dan sebagainya tadi, nggak ada cara lain selain turun dan turun !. Pakai obat seperti Dexamethasone / Decadron, mulai dengan cara oral/injeksi sebanyak 8 mg, lalu ditambah 4 mg tiap enam jam. Bantuan oksigen juga sangat menolong.
HIGH ALTITUDE PULMONARY EDEMA / HAPE
yg nonton film Vertical Limit pasti pernah denger HAPE. HAPE adalah penyebab kematian paling umum di ketinggian. Sebenarnya dia bisa dicegah kalau terdeteksi secara dini. Pada dasarnya, HAPE disebabkan bocornya saluran darah di paru2 lalu paru2 terisi cairan sehingga
orangnya kesulitan bernafas. Tanda paling awal HAPE adalah menurunnya exercixe tolerance dan meningkatnya waktu recovery. Biasanya timbul batuk kering, kuku dan bibir berubah warnanya jadi biru/abu2 (istilahnya cyanosis). semakin parah, maka saat istirahat nafas semakin susah dan kadang terdengar derak-derik di paru2. Bahkan bisa timbul dahak yg bercampur darah. Nantinya berkembang menjadi perubahan mental, ataxia dan koma /HACE.
Situasi bisa ditolong dengan bantuan oksigen. Obat seperti Nifedipine / Adalat XL juga terbukti efektif, 30 mg tiap 12 jam secara oral . Lebih baik kalau turun ke ketinggian lebih rendah.
Situs Outsidemag.com beberapa waktu lalu pernah mengutip hasil penelitian di New England Journal of Medicine. Di situ dikatakan bahwa obat salmeterol yg biasa dipakai untuk asma ternyata juga mengurangi risiko HAPE. Bedanya dengan Nifedipine yg harus dimakan, salmeterol ini bisa dihisap langsung sehingga cepat masuk ke paru2. Salmeterol ini adalah nama kimia untuk merek Serevent. Studi lain yang dimuat jurnal medis Lancet menyatakan HAPE ternyata lebih sering menimpa pendaki daripada yg diperkirakan semula. Dulu
HAPE dipercaya hanya menimpa 2 sampai 4 persen pendaki yg berada di ketinggian lebih dari 8000 kaki. Tapi riset terbaru tadi menemukan bahwa 60 persen pendaki di gunung Monte Rosa (14.957 kaki) di daerah Alps ternyatamenunjukkan tanda2 subklinik HAPE lalu 15 persen lagi menunjukkan tanda klinik HAPE.
HIGH ALTITUDE BRONCHITIS
Dikenal dgn istilah “Khumbu Cough”. Mereka yg menghabiskan waktu lebih dari 2 minggu di basecamp Everest biasanya menderita tenggorokan kering dan batuk kronis. Saat bernafas dengan cepat, sering melalui mulut, udara tidak dilembabkan seperti paa hidung. Udara yg dingin dan kering membuat tenggorokan dan saluran pernafasan kering sehingga timbul batuk
kering. Kadang batuknya sangat parah sampai mencederai tulang rusuk. Pada dasarnya, bisa disembuhkan kalau turun. Pendaki ada yang mencoba trik seperti makan permen batuk sampai ke cara tidur dengan pake masker.
Hape
Masalah kesehatan paru lain pada wisatawan adalah high altitude pulmonary edema (HAPE). Penyakit yang mungkin berakibat fatal ini dapat terjadi di pegunungan tinggi seperti daerah yang biasa dipakai ski es.
Sebenarnya HAPE tidak terlalu sering ditemukan, tetapi merupakan penyebab kesakitan dan kematian bagi wisatawan di daerah ketinggian (high altitude). HAPE adalah penyebab kematian pertama dalam kelompok penyakit yang berhubungan dengan ketinggian (altitude related illness).
Dengan berbagai kemudahan transportasi saat ini, wisatawan dalam beberapa jam dapat berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi. Frekuensi terjadinya HAPE meningkat secara eksponensial mengikuti ketinggian.
HAPE biasanya terjadi dalam enam jam pertama sampai beberapa hari setelah seseorang dengan cepat naik ke daerah ketinggian lebih dari 2.500 m. Gejala yang timbul dapat berupa keluhan sesak napas walau sedang beristirahat, batuk, penurunan kemampuan beraktivitas, dan rasa berat di dada. Denyut nadi bertambah cepat, dan kadang ujung jari membiru karena kekurangan oksigen. Keluhan sesak napas yang tidak membaik setelah lima menit beristirahat perlu diwaspadai dan diperiksa dokter.
Kemungkinan terjadinya HAPE meningkat sebanding dengan makin tinggi tempat yang dikunjungi, kecepatan mendaki, aktivitas fisik, temperatur ambien yang rendah, serta konsumsi obat anti hipnotik. Faktor risiko lain adalah riwayat pernah mengalami HAPE. Tidak ada hubungan antara kebugaran fisik dengan kejadian HAPE.
Penanganan HAPE adalah meminta pasien turun dari ketinggian, kalau perlu dengan evakuasi medik, pemberian oksigen dan obat tertentu. Pencegahannya adalah dengan mendaki gunung secara bertahap. Bila gejala HAPE muncul segera turun kembali.
Penyakit yang berhubungan dengan ketinggian (altitude related illness) lainnya adalah acute mountain sickness (AMS) dan high altitude cerebral edema (HACE). Keduanya merupakan gangguan pada susunan saraf pusat dan dapat memberi gejala mulai dari sakit kepala ringan dan badan lemas pada penyakit AMS, sampai ke keluhan mual, muntah-muntah, bahkan pasien dapat tidak sadar, koma pada penyakit HACE.
Mountain sickness biasanya terjadi pada ketinggian di atas 2.500 m, tetapi dapat juga terjadi di tempat lebih rendah. Gejala AMS biasanya menghilang setelah satu minggu.
Bila seseorang tiba-tiba sakit di dataran tinggi, harus diasumsikan bahwa penyakit itu terjadi akibat ketinggian. Cara penanggulangan yang paling baik adalah dengan berhenti mendaki, istirahat, cek ke petugas kesehatan, dan turun segera bila memang dianjurkan.
FROSSBYTE
Penyakit ini juga muncul di Vertical Limit….penjelasan biologisnya si gw ga tau yang jelas terjadi pembekuan salah satu anggota tubuh, biasanya si diujung ujung jari tangan ato kaki kalo ga di telinga..na kalo dah begini ni dah ga bisa diapa apain lagi harus diamputasi…
Terjadinya si gara gara pembekuan darah didaerah tersebut..
Bener ga bang kepala_ayam masa ga pernah denger penyakit ini emang si jarang buat pendaki indonesia yang jarang banget gunung saljunya…
Yang gua tau si mas didiek samsu dulu pas pendakiannya ke aconcagua kena frossbite pas nolongin temennya, gara gara salah pake sarung tangan yang dia pake tu yang tipis..
Sumber dari : sini
DETERIORATION
Ketinggian 5800 M merupakan batas habitasi jangka panjang yang normal. Masalah di sana banyak; turunnya berat badan, rasa cepat ngantuk/lemas, susah tidur. Semakin tinggi, penurunan2 tadi semakin banyak terjadi. Di atas 8000M (alias the Death Zone), penurunan terjadi secara cepat sampe2 kematian bisa terjadi secara tiba2. Tak heran kalo pendaki Everest kebanyakan memakai suplai oksigen.
Masalah turunnya berat badan adalah persoalan yang serius. Penyebabnya ada dua; turunnya selera makan dan susahnya menyerap nutrisi makanan. Selera makan ini turun sesuai ketinggian, makin tinggi makin turun selera makan kita. Tubuh kita saat itu juga cuma nyerap setengah dari lemak makanan serta tiga perempat karbohidrat dari kebiasaan normalnya. Kalo naik Everest, nggak jarang pendakinya turun berat badan sampe 10 persen !
HIGH ALTITUDE ILLNESS
Terlalu cepat sampe di ketinggian, tanpa usaha aklimatisasi, bisa nyebabkan sakit yg gawat. Munculnya bisa terjadi hanya dalam beberapa hari saja. Pencegahan ditambah turun secara perlahan2 adalah kunci obatnya. Sekarang ini ada yg nyaranin buat tidak langsung naik dan tidur melebihi ke ketinggian 3000 m. Gunakan 2 sampai 3 malam di ketinggian 3000 M, terus usahakan bermalam untuk aklimatisasi tiap 600 M sampai 900 M. Hindari naik secara tiba2 melebihi 600 M. Artinya kita bisa naik sampai satu ketinggian, untuk tidurnya kita turun lagi ke tempat yg sedikit lebih rendah.
Latihan olahraga ringan bisa ngebantu tubuh nyesuaian diri sama ketinggian. Tapi inget, olahraga berlebihan juga bisa nyebabin sakit. Pendaki Everest biasanya ngabisin waktu sampe 2 minggu untuk trekking dari Namche (3400 M) ke base camp Everest (5300 M). Tujuannya tidak lain aklimatisasi.
ACUTE MOUNTAIN SICKNESS
AMS ini tergantung kepada ketinggian, kecepatan mendaki, seberapa lama eksposure, exertion dan kebugaran individual. Gawatnya, AMS ini bisa menyebabkan penyakit ketinggian yg lebih parah lagi. Gejala AMSantara lain sakit kepala, pusing2, lelah, hilang selera makan dan rasa mual. Gejala ini muncul biasanya kalau sudah naik lebih dari ketinggian 1000 M, walau kadang terjadi juga di ketinggian yg lebih rendah. AMS perlu dideteksi sejak awal. Paling gampang adalah menghentikan pendakian. Tubuh jadi bisa beraklimatisasi walaupun cara ini bisa makan waktu berhari-hari. Kalau gejalanya terus memburuk, nggak ada cara lain selain turun dari gunung.
Acetazolimide / Diamox bisa membantu mempercepat aklimatisasi. Dosisnya yg baik adalah 125 mg, 2 kali sehari. Makan obat biasa/ over-the-counter bisa saja, selama kita tidak naik lebih tinggi lagi. Hindari juga konsumsi sedatif misalnya alkohol, antihistamin atau obat tidur.
Pengobatan paling baik adalah turun dari gunung. Turun sampe gejala2 tadi menghilang, biasanya sekitar 500 sampai 1000 M. Perawatan lainnya adalah memakai kantong khusus, namanya portable hyperbaric chamber / GAMOW atau PAC bags. Kantong yg bisa ditiup ini mengsimulasi langkah turun gunung dengan meningkatkan tekanan udara di dalam kantong.
HIGH ALTITUDE CEREBRAL EDEMA / HACE
HACE ini dasarnya adalah AMS yg lebih ekstrem. Penyebabnya adalah pembengkakan otak. Gejalanya antara lain ataxia (jalannya kayak orang mabuk), dan penurunan kesadaran (mengantuk, rasa bingung, menggigil atau koma). Sering juga penderitanya merasa pusing kepala dan muntah2. Dari AMS ringan sampe terjadi koma bisa berjarak 12 jam atau lebih.
Pengobatannya juga memerlukan pendeteksian dini. Kalau terlihat gejala ataxia dan sebagainya tadi, nggak ada cara lain selain turun dan turun !. Pakai obat seperti Dexamethasone / Decadron, mulai dengan cara oral/injeksi sebanyak 8 mg, lalu ditambah 4 mg tiap enam jam. Bantuan oksigen juga sangat menolong.
Sumber dari : sini
Aktivitas petualangan di musim hujan, seperti pendakian gunung otomatis akan meningkatkan derajat bahayanya akibat gejala alam ini. Apalagi bila musim liburan tiba. Seperti tak mau kehilangan kesempatan emas, banyak pendaki gunung tetap nekat menyalurkan hobi petualangannya tanpa mempedulikan kondisi cuaca.
Ancaman Hypothermia
Cuaca di gunung memang tidak bisa ditebak. Apalagi pada bulan-bulan basah. Meski gunung di Indonesia rata-rata hanya berketinggian sekitar 3.000 m dpl, tetapi pada musim hujan, badai gunung yang menyertai hujan sering menyerang dan mampu menurunkan suhu udara hingga mencapai di bawah titik beku atau di bawah 0 derajat celcius.
Bagi para pendaki gunung yang tidak siap dengan fisik, mental serta perlengkapan yang memadai, kondisi ini bisa menjadi sebuah malapetaka besar. Karena suhu udara sedingin itu, merupakan kondisi yang sangat asing bagi tubuh manusia, apalagi bagi orang-orang yang tinggal di daerah tropis seperti Indonesia.
Hypothermia merupakan salah satu gejala penyakit di ketinggian yang sering menyerang para pendaki gunung. Bahkan di Indonesia, hypothermia menduduki peringkat teratas sebagai ancaman maut serta “hantu” pencabut nyawa paling kejam bagi para pendaki gunung. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya hypothermia itu hingga bisa menjadi ancaman bak momok yang menakutkan bagi para pendaki gunung?
Penyakit hypothermia merupakan satu dari sejumlah penyakit di ketinggian seperti mountain sickness atau hipoksia (kekurangan pasokan oksigen ke tubuh), edema baru dan dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh. Hypothermia sering menyerang para pendaki gunung yang kurang melengkapi diri dengan perlengkapan penahan dingin atau penghangat badan seperti sweater, jaket, kaos kaki, balaclava, sarung tangan, tenda dsb.
Tetapi kadang juga kerap terjadi, pendaki gunung yang sudah melengkapi diri dengan perlengkapan penahan dingin tetap saja terkena hypothermia. Hal ini biasanya terjadi karena seluruh pakaian yang dikenakan telah basah kuyup diterpa hujan. Pendaki ini biasanya kurang melengkapi diri dengan perlengkapan penahan air atau hujan seperti rain coat, ponco (jas hujan), payung atau tenda yang memadai.
Pakaian yang basah akan mengurangi insulasi (kemampuan untuk menahan panas badan) sampai 90%. Kasus hypothermia yang disebabkan pakaian basah inilah sebenarnya yang paling sering meminta korban pendaki gunung di Indonesia.
Preventif Hypothermia
Seperti penyakit–penyakit gunung lainnya, hypothermia merupakan faktor bahaya yang sebenarnya dapat diperhitungkan sebelum melakukan kegiatan pendakian atau lebih dikenal dengan istilah subjective danger. Seorang pendaki yang sudah mempersiapkan fisik maupun perlengkapannya akan lebih mudah menghadapi bahaya-bahaya yang mungkin akan muncul.
Suatu hal yang harus diingat, janganlah memulai persiapan itu ketika gejala-gejala penyakitnya muncul di gunung. Persiapan itu harus sudah dimulai sejak masih di rumah, yakni dengan memiliki pengetahuan tentang bahaya yang potensial muncul, cara penanggulangan apa saja yang dibutuhkan.
Kecuali mempersiapkan diri dengan perlengkapan penahan dingin dan anti air berkualitas baik, ada beberapa hal pokok mendasar yang perlu diketahui mengenai hypothermia. Selalu menjaga suhu tubuh pada suhu normal pada kisaran 37 derajat celcius, merupakan hal utama untuk menghindari hypothermia.
Sebenarnya secara alamiah tubuh manusia akan selalu menjaga panasnya dengan beberapa cara, salah satunya melalui pencernaan makanan. Makanan yang masuk ke dalam tubuh menghasilkan panas melalui oksidasi, dan ini terutama penting bagi tubuh ketika sedang beristirahat. Panas yang berasal dari pencernaan makanan ini akan dihasilkan lebih banyak lagi oleh tubuh ketika sedang bergerak.
Penanganan Hypothermia
Orang yang terkena hypothermia akan menunjukkan gejala-gejala sesuai dengan tingkat penurunan suhu tubuh. Kehilangan kesadaran, misalnya akan menyebabkan apa yang disebut dengan paradocixal feeling of warmth. Pada kondisi ini, penderita hypothermia justru akan merasakan hal yang sebaliknya, yaitu rasa panas lalu tanpa sadar seluruh pakaian ditanggalkan sendiri. Sehingga amat sering dijumpai penderita atau korban hypothermia meninggal ditemukan dalam kondisi telanjang bulat.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menangani penderita hypothermia. Pertama adalah mencari dan memindahkan korban ke tempat yang kering dan terlindung dari angin dan air. Kemudian sebelum diberikan minuman yang hangat dan manis, usahakan baju basah korban diganti dengan yang kering. Lalu, masukkan korban ke dalam sleeping bag kering yang sebelumnya telah dihangatkan dengan cara memasukkan tubuh telanjang beberapa orang sehat (bersuhu normal).
Tindakan selanjutnya adalah, memasukkan botol berisi air hangat ke dalam sleeping bag untuk membantu memanaskan tubuh korban. Kalau sleeping bag cukup lebar, lakukan transfer panas tubuh orang sehat ke korban dengan cara dua orang ikut masuk ke dalam sleeping bag dan mengapit korban. Usahakan membuat api di kedua sisi korban, dan jangan biarkan korban hypothermia tertidur.
Tidur akan membuat penderita hypothermia kehilangan kesadaran dan tak mampu lagi memanaskan tubuhnya secara alami. Biarkan dia mengigil dan segera beri minuman hangat dan makanan manis setelah korban sadar. Hidrat arang dalam makanan itu merupakan bahan bakar yang cepat sekali menghasilkan panas dan tenaga. (KR)
Sumber : dari sini